Jumat, 26 Agustus 2011

Menggapai Ridha Allah Dengan Berbakti Kepada Kedua Orang Tua.


Seorang anak, meskipun telah berkeluarga, tetap wajib berbakti kepada kedua orang tuanya. Kewajiban ini tidaklah gugur bila seseorang telah berkeluarga. Namun sangat disayangkan, betapa banyak orang yang sudah berkeluarga lalu mereka meninggalkan kewajiban ini. Mengingat pentingnya masalah berbakti kepada kedua orang tua, maka masalah ini perlu dikaji secara khusus.

Jalan yang haq dalam menggapai ridha Allah ‘Azza wa Jalla melalui orang tua adalah birrul walidain. Birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua) merupakan salah satu masalah penting dalam Islam. Di dalam Al-Qur’an, setelah memerintahkan manusia untuk bertauhid, Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan untuk berbakti kepada orang tuanya.

Seperti tersurat dalam surat al-Israa' ayat 23-24, Allah Ta’ala berfirman:

“Artinya : Dan Rabb-mu telah memerintahkan agar kamu jangan beribadah melainkan hanya kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada ibu-bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Ya Rabb-ku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.’” [Al-Israa' : 23-24]
Perintah birrul walidain juga tercantum dalam surat an-Nisaa' ayat 36:

“Artinya : Dan beribadahlah kepada Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat, tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil [1], dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.” [An-Nisaa' : 36]

Dalam surat al-‘Ankabuut ayat 8, tercantum larangan mematuhi orang tua yang kafir jika mereka mengajak kepada kekafiran:

“Artinya : Dan Kami wajibkan kepada manusia agar (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau patuhi keduanya. Hanya kepada-Ku tempat kembalimu, dan akan Aku beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” [Al-‘Ankabuut (29): 8] Lihat juga surat Luqman ayat 14-15.


ANJURAN BERBUAT BAIK KEPADA KEDUA ORANG TUA DAN LARANGAN DURHAKA KEPADA KEDUANYA.
Yang dimaksud ihsan dalam pembahasan ini adalah berbakti kepada kedua orang tua, yaitu menyampaikan setiap kebaikan kepada keduanya semampu kita dan bila memungkinkan mencegah gangguan kepada keduanya. Menurut Ibnu ‘Athiyah, kita juga wajib mentaati keduanya dalam hal-hal yang mubah (yang diperbolehkan syari’at), dan harus mengikuti apa-apa yang diperintahkan keduanya dan menjauhi apa-apa yang dilarang (selama tidak melanggar batasan-batasan Allah ‘Azza wa Jalla).

Sedangkan 'uququl walidain adalah gangguan yang ditimbulkan seorang anak terhadap keduanya, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Contoh gangguan berupa perkataan, yaitu mengucapkan “ah” atau “cis”, berkata dengan kalimat yang keras atau menyakitkan hati, menggertak, mencaci maki dan lain-lain. Sedangkan yang berupa perbuatan adalah berlaku kasar, seperti memukul dengan tangan atau kaki bila orang tua menginginkan sesuatu atau menyuruh untuk memenuhi keinginannya, membenci, tidak mempedulikan, tidak bersilaturrahim, atau tidak memberi nafkah kepada kedua orang tuanya yang miskin.

KEUTAMAAN BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUA DAN PAHALANYA.
[1]. Merupakan Amal Yang Paling Utama ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu berkata.

“Artinya : Aku bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ‘Amal apakah yang paling utama?’ Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Shalat pada waktunya (dalam riwayat lain disebutkan shalat di awal waktunya).’ Aku bertanya lagi, ‘Kemudian apa?’ Nabi menjawab: ‘Berbakti kepada kedua orang tua.’ Aku bertanya lagi: ‘Kemudian apa?’ Nabi menjawab, ‘Jihad di jalan Allah’ [2]

[2]. Ridha Allah Bergantung Kepada Ridha Orang Tua
Sesuai hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, disebutkan:

“Artinya : Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallaahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ridha Allah bergantung kepada keridhaan orang tua dan murka Allah bergantung kepada kemurkaan orang tua” [3]

[3]. Berbakti Kepada Orang Tua Dapat Menghilangkan Kesulitan Yang Sedang Dialami
Yaitu, dengan cara bertawassul dengan amal shalih tersebut. Dalilnya adalah hadits riwayat dari Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma mengenai kisah tiga orang yang terjebak dalam gua, dan salah seorangnya bertawassul dengan bakti kepada ibu bapaknya.
Haditsnya sebagai berikut :

“Artinya : ...Pada suatu hari tiga orang dari ummat sebelum kalian sedang berjalan, lalu kehujanan. Mereka berteduh pada sebuah gua di kaki sebuah gunung. Ketika mereka berada di dalamnya, tiba-tiba sebuah batu besar runtuh dan menutupi mulut gua. Sebagian mereka berkata kepada yang lain: ‘Ingatlah amal terbaik yang pernah kamu lakukan.’ Kemudian mereka memohon kepada Allah dan bertawassul melalui amal tersebut, dengan harapan agar Allah menghilangkan kesulitan tersebut. Salah satu di antara mereka berkata: ‘Ya Allah, sesung-guhnya aku mempunyai kedua orang tua yang sudah lanjut usia sedangkan aku mempunyai isteri dan anak-anak yang masih kecil. Aku menggembala kambing, ketika pulang ke rumah aku selalu memerah susu dan memberikan kepada kedua orang tuaku sebelum orang lain. Suatu hari aku harus berjalan jauh untuk mencari kayu bakar dan mencari nafkah sehingga pulang sudah larut malam dan aku dapati orang tuaku sudah tertidur, lalu aku tetap memerah susu sebagaimana sebelumnya. Susu tersebut tetap aku pegang lalu aku mendatangi keduanya namun keduanya masih tertidur pulas. Anak-anakku merengek-rengek menangis untuk meminta susu ini dan aku tidak memberikannya. Aku tidak akan memberikan kepada siapa pun sebelum susu yang aku perah ini kuberikan kepada kedua orang tuaku. Kemudian aku tunggu sampai keduanya bangun. Pagi hari ketika orang tuaku bangun, aku berikan susu ini kepada keduanya. Setelah keduanya minum lalu kuberikan kepada anak-anakku. Ya Allah, seandainya perbuatan ini adalah perbuatan yang baik karena mengharap wajah-Mu, maka bukakanlah mulut gua ini.’ Maka batu yang menutupi pintu gua itu pun bergeser sedikit..”[4]

[4]. Akan Diluaskan Rizki Dan Dipanjangkan Umur Sesuai sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam

“Artinya : Barangsiapa yang ingin diluaskan rizkinya dan di-panjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyam-bung silaturrahimnya.” [5]

Dalam silaturahmi, yang harus didahulukan adalah silaturahmi kepada orang tua sebelum kepada yang lain. Banyak di antara saudara-saudara kita yang sering berkunjung kepada teman-temannya, tetapi kepada orang tuanya sendiri jarang, bahkan tidak pernah. Padahal ketika masih kecil, dia selalu bersama orang tuanya. Sesulit apa pun harus tetap diusahakan untuk bersilaturahmi kepada kedua orang tua, karena dekat kepada keduanya -insya Allah- akan dimudahkan rizki dan dipanjangkan umurnya.

[5]. Akan Dimasukkan Ke Surga Ooleh Allah ‘Azza wa Jalla
Berbuat baik kepada orang tua dan taat kepada keduanya dalam kebaikan merupakan jalan menuju Surga. Sedangkan durhaka kepada orang tua akan mengakibatkan seorang anak tidak masuk Surga. Dan di antara dosa-dosa yang Allah ‘Azza wa Jalla segerakan adzabnya di dunia adalah berbuat zhalim dan durhaka kepada orang tua. Dengan demikian, jika seorang anak berbuat baik kepada orang tuanya, Allah akan meng-hindarkannya dari berbagai malapetaka, dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla dan akan dimasukkan ke Surga.


BENTUK-BENTUK DURHAKA KEPADA KEDUA ORANG TUA
[1]. Menimbulkan gangguan terhadap orang tua, baik berupa perkataan atau pun perbuatan yang mem-buat orang tua sedih atau sakit hati.
[2]. Berkata “ah” atau “cis” dan tidak memenuhi pang-gilan orang tua.
[3]. Membentak atau menghardik orang tua.
[4]. Bakhil atau kikir, tidak mengurus orang tuanya, bahkan lebih mementingkan yang lain daripada mengurus orang tuanya, padahal orang tuanya sangat membutuhkan. Seandainya memberi nafkah pun, dilakukan dengan penuh perhitungan.
[5]. Bermuka masam dan cemberut di hadapan orang tua, merendahkan orang tua, mengatakan bodoh, “kolot”, dan lain-lain.
[6]. Menyuruh orang tua, misalnya menyapu, mencuci atau menyiapkan makanan. Pekerjaan tersebut sangat tidak pantas bagi orang tua, terutama jika mereka sudah tua dan lemah. Tetapi, jika si ibu melakukan pekerjaan tersebut dengan kemauannya sendiri, maka tidaklah mengapa, dan karena itu seorang anak harus berterima kasih dan membantu orang tua.
[7]. Menyebut kejelekan orang tua di hadapan orang banyak atau mencemarkan nama baik orang tua.
[8]. Memasukkan kemungkaran ke dalam rumah, misalnya alat musik, mengisap rokok, dan lain-lain.
[9]. Lebih mentaati isteri daripada kedua orang tua. Bahkan ada sebagian orang yang tega mengusir ibunya demi menuruti kemauan isterinya. Nas-alullaahas salaamah wal ‘aafiyah

[10]. Malu mengakui orang tuanya. Sebagian orang merasa malu dengan keberadaan orang tua dan tempat tinggal ketika status sosialnya meningkat. Tidak diragukan lagi, sikap semacam itu adalah sikap yang sangat tercela, bahkan termasuk kedurhakaan yang keji dan nista.

BENTUK-BENTUK BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUA.
[1]. Bergaul bersama keduanya dengan cara yang baik. Di dalam hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam disebutkan bahwa memberi kegembiraan kepada seseorang mukmin termasuk shadaqah, lebih utama lagi kalau memberi kegembiraan kepada orang tua kita

[2]. Berkata kepada keduanya dengan perkataan yang lemah lembut. Hendaknya dibedakan adab ber-bicara antara kepada kedua orang tua dengan ke-pada anak, teman atau dengan yang lain. Berbicara dengan perkataan yang mulia kepada kedua orang tua.

[3]. Tawadhu’ (rendah hati). Tidak boleh kibr (sombong) apabila sudah meraih sukses atau memenuhi jabatan di dunia, karena sewaktu lahir, kita berada dalam keadaan hina dan membutuhkan pertolongan, kita diberi makan, minum, dan pakaian oleh orang tua.


[4]. Memberi infaq (shadaqah) kepada kedua orang tua, karena pada hakikatnya semua harta kita adalah milik orang tua. Oleh karena itu berikanlah harta itu kepada kedua orang tua, baik ketika mereka minta ataupun tidak.
[5 ]. Mendo’akan kedua orang tua. Di antaranya dengan do’a berikut:
“Wahai Rabb-ku, kasihilah keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku sewaktu kecil.”

Seandainya orang tua masih berbuat syirik serta bid’ah, kita tetap harus berlaku lemah lembut kepada keduanya, dengan harapan agar keduanya kembali kepada Tauhid dan Sunnah. Bagaimana pun, syirik dan bid’ah adalah sebesar-besar kemungkaran, maka kita harus mencegahnya semampu kita dengan dasar ilmu, lemah lembut dan kesabaran. Sambil terus berdo’a siang dan malam agar orang tua kita diberi petunjuk ke jalan yang benar.

APABILA KEDUA ORANG TUA TELAH MENINGGAL DUNIA.
Maka yang harus kita lakukan adalah:
[1]. Meminta ampun kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan taubat nashuha (jujur) bila kita pernah berbuat dur-haka kepada keduanya di waktu mereka masih hidup.
[2]. Menshalatkannya dan mengantarkan jenazahnya ke kubur.
[3]. Selalu memintakan ampunan untuk keduanya.
[4]. Membayarkan hutang-hutangnya.
[5]. Melaksanakan wasiat sesuai dengan syari’at.
[6]. Menyambung silaturrahim kepada orang yang keduanya juga pernah menyambungnya.

Semoga dengan memahami dan mengamalkan nilai-nilai Islam tersebut, kita dimudahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Aamiin.

Senin, 15 Agustus 2011

Lailatul Qadr, betapa mulianya malam itu!


Al-Qur'an menginformasikan bagaimana para Malaikat dan Jibril turun ke bumi atas izin Allah SWT.; bagaimana malam itu dilukiskan sebagai lebih mulia dari seribu bulan; bagaimana bumi penuh sesak dengan kehadiran para malaikat itu.

Rasul menganjurkan kita untuk mencari malam itu, yang saking mulianya sehingga dirahasiakan kepastiannya oleh Allah. Rasul hanya memberi petunjuk untuk mencarinya di sepuluh malam terakhir Ramadhan, khususnya di malam-malam yang ganjil.

Pertanyaannya, di sepuluh malam itu apa yang sebaiknya kita lakukan? Persiapan apa yang harus kita lakukan menunggu datangnya para tamu agung dari langit itu, sikap apa yang harus kita ambil ketika ternyata para tamu itu mampir ke rumah kita, dan, akhirnya, ibadah apa yang mesti kita lakukan di saat datangnya malam itu?

Banyak riwayat yang menjelaskan hal itu, banyak pula saran dan kisah para ulama yang bisa kita jadikan patokan. Namun, saya menyarankan untuk melakukan dua hal.

Pertama, banyak-banyaklah berdekah. Sungguh hanya di bumi inilah kita mendapati saudara kita yang kekurangan. Hanya di bumi orang-orang kaya memberikan makanan kepada kaum fukara wal masakin. 

Kedua, merintih dan menangislah kita untuk memohon ampunan Allah.
Dua amalan itu merupakan amalan yang malaikat tak sanggup melakukannya. Bukankah di langit tak ada yang miskin, sehingga mustahil malaikat bisa bersedekah. Malaikat yang suci itu tentu saja tak pernah melakukan maksiyat, karenanya mereka adalah suci. Mereka tak pernah merintih dan menangisi dosa mereka. Kitalah yang mampu melakukannya.

Dalam Tafsir al-Fakhr ar-Razi diceritakan bagaimana Allah berkata, "rintihan pendosa itu lebih aku sukai daripada gemuruh suara tasbih". Malaikat mampu melakukan tasbih, namun gemuruh suara tasbih dari para malaikat kalah kualitasnya dibanding rintihan dan tangisan kita yang memohon ampun pada Allah SWT.

Mari kita sambut Lailatul Qadr dengan dua amalan yang bahkan malaikat pun tak sanggup melakukannya. Bersedekah-lah.... kemudian menangis dan memohon ampunan ilahi. Siapa tahu, ada malaikat yang bersedia mampir ke rumah kita; dan malam itu menjadi milik kita, insya Allah!

 Lailatul Qadr pertama kali dijumpai Nabi ketika beliau menerima wahyu untuk pertama kalinya. Hal yang amat menarik adalah Nabi sebelum kedatangan jibril sedang menyendiri, bertafakur dan berkontemplasi. Nabi memikirkan keadaan lingkungan sekitarnya yang mempraktekkan adat jahiliyah. Nabi menyingkir dari suasana yang tak sehat itu sambil merenung dan menghela nafas sejenak dari hiruk pikuk kota Mekkah. Nabi menetap di gua hira' untuk kemudian berkontemplasi guna mensucikan dirinya. Pada saat itulah turun malaikat Jibril alaihis salam.

Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari kisah ini? Pertama, di tengah masyarakat yang tak lagi mengindahkan etika, moral dan hati nurani, kita harus menyingkir sejenak untuk memikirkan kondisi masyarakat tersebut.

Kedua, di tengah masyarakat yang giat mengerjakan maksiyat, kita harus menghela nafas sejenak dan mencoba untuk mensucikan diri kita sendiri terlebih dahulu sebelum mensucikan masyarakat luas.

Ketiga, di tengah "kesendirian" kita, kita berkontemplasi untuk mencari solusi terbaik dari persoalan yang dihadapi.

Ketika Nabi menganjurkan kita untuk melakukan i'tikaf di sepuluh malam terakhir ramadhan, khususnya malam yang ganjil, saya menangkap bahwa sebenarnya kita dianjurkan untuk melakukan napak tilas proses pencerahan dan pensucian diri Nabi saat mendapati Lailatul Qadr.

Seyogyanya, i'tikaf yang kita lakukan tidak hanya berisikan alunan ayat suci Al-Qur'an dan dzikir semata. Akan jauh lebih baik bila saat i'tikaf kita pun memikirkan kondisi masyarakat sekitar kita, persis seperti yang telah dilakukan Nabi ratusan tahun yang lalu di gua Hira'. Insya Allah, ketika saat malam yang mulia itu tiba kita sudah siap menyambut dan menjumpainya.

Namun satu hal yang sangat penting untuk diingat bahwa setiap ibadah maupun gerak hidup kita seharusnya ditujukan untuk mencari keridhaan Allah semata.Silahkan anda mencari Lailatul Qadr, namun jangan menjadi tujuan anda yang hakiki. Tujuan kita beri'tikaf dan beribadah di sepuluh malam terakhir nanti adalah untuk mencari keridhaan Allah.

Kalau yang anda kejar semata-mata hanyalah Lailatul Qadr, jangan-jangan anda tak mendapatkannya sama sekali. Tetapi kalau keridhaan Allah yang kita cari, maka terserah kepada Allah untuk mewujudkan keridhaan-Nya itu pada kita; apakah itu berbentuk Lailatul Qadr atau bentuk yang lain.

Bukankah shalat kita, hidup dan mati kita untuk Allah semata? Dan Sungguh Allah jauh lebih mulia daripada Lailatul Qadr!

Wallohu'alam.....
Semoga Bermanfaat...........

Jumat, 12 Agustus 2011

Aku Ingin Anak Lekakiku Menirumu

Ketika lahir, anak lelakiku gelap benar kulitnya, Lalu kubilang pada ayahnya: 

“Subhanallah, dia benar-benar mirip denganmu ya!”  
Suamiku menjawab:   “Bukankah sesuai keinginanmu? Kau yang bilang kalau anak lelaki ingin seperti aku.” 
 
Aku mengangguk. Suamiku kembali bekerja seperti biasa. Ketika bayi kecilku 
berulang tahun pertama, aku mengusulkan perayaannya dengan mengkhatamkan Al Quran di  rumah Lalu kubilang pada suamiku:  

“Supaya ia menjadi penghafal Kitabullah ya,Yah.”  Suamiku menatap padaku seraya pelan berkata:  “Oh ya. Ide bagus itu.” 
Bayi kami itu, kami beri nama Ahmad, mengikuti panggilan Rasulnya. Tidak berapa  lama, ia sudah pandai memanggil-manggil kami berdua: Ammaa. Apppaa. Lalu ia menunjuk pada  dirinya  seraya  berkata:  Ammat!  Maksudnya  ia  Ahmad.  Kami  berdua  sangat  bahagia  dengan kehadirannya. 

 Ahmad  tumbuh  jadi  anak  cerdas,  persis  seperti  papanya.  Pelajaran  matematika   sederhana sangat mudah dikuasainya. Ah, papanya memang jago matematika. Ia kebanggaan keluarganya. Sekarang pun sedang S3 di bidang Matematika. 

 Ketika Ahmad ulang tahun kelima, kami mengundang keluarga. Berdandan rapi kami   semua. Tibalah saat Ahmad menjadi bosan dan agak mengesalkan. Tiba-tiba ia minta naik ke  punggung   papanya.   Entah   apa   yang   menyebabkan   papanya   begitu   berang,   mungkin  menganggap  Ahmad  sudah  sekolah,  sudah  terlalu  besar  untuk  main  kuda-kudaan,  atau  lantaran banyak tamu dan ia kelelahan. Badan Ahmad terhempas ditolak papanya, wajahnya  merah, tangisnya pecah, Muhammad terluka hatinya di hari ulang tahunnya kelima. 
 
Sejak hari itu, Ahamad jadi pendiam. Murung ke sekolah, menyendiri di rumah. Ia tak   lagi  suka  bertanya,  dan  ia  menjadi  amat  mudah  marah.  Aku  coba  mendekati  suamiku,  dan  menyampaikan  alasanku.  Ia  sedang  menyelesaikan  papernya  dan  tak  mau  diganggu  oleh   urusan seremeh itu, katanya. 

 Tahun demi tahun berlalu. Tak terasa Ahmad telah selesai S1. Pemuda gagah, pandai  dan pendiam telah membawakan aku seorang mantu dan seorang cucu. Ketika lahir, cucuku  itu, istrinya berseru sambil tertawa-tawa lucu: 

 “Subhanallah! Kulitnya gelap, Mas, persis seperti kulitmu!” 

 Ahmad menoleh dengan kaku, tampak ia tersinggung dan merasa malu.  
“Salahmu. Kamu yang ingin sendiri, kan. Kalau lelaki ingin seperti aku!” 

 Di  tanganku,  terajut  ruang  dan  waktu.  Terasa  ada  yang  pedih  di  hatiku.  Ada  yang  mencemaskan aku. 

 Cucuku pulang ke rumah, bulan berlalu. Kami, nenek dan kakeknya, datang bertamu. 
Ahmad kecil sedang digendong ayahnya. Menangis ia. Tiba-tiba Ahmad anakku menyergah  sambil berteriak menghentak, 
“Ah, gimana sih, kok nggak dikasih pampers anak ini!”   
Dengan kasar disorongkannya bayi mungil itu. 
Suamiku membaca korannya, tak tergerak oleh suasana. Ahmad, papa bayi ini, segera membersihkan  dirinya  di  kamar  mandi.  Aku,  wanita  tua,  ruang  dan  waktu  kurajut  dalam  pedih duka seorang istri dan seorang ibu. Aku tak sanggup lagi menahan gelora di dada ini. 
 
Pecahlah  tangisku  serasa  sudah  berabad  aku  menyimpannya.  Aku  rebut  koran  di  tangan 
suamiku dan kukatakan padanya: 
 
“Dulu kau hempaskan Ahmad di lantai itu! Ulang tahun ke lima, kau ingat? Kau tolak 
ia  merangkak  di  punggungmu!  Dan  ketika  aku  minta  kau  perbaiki,  kau  bilang  kau  sibuk 
sekali.  Kau  dengar?  Kau  dengar  anakmu  tadi?  Dia  tidak  suka  dipipisi.  Dia  asing  dengan 
anaknya sendiri!” 

 Allahumma  Shali  ala  Muhammad.  Allahumma  Shalli  alaihi  wassalaam.  Aku  ingin anakku menirumu, wahai Nabi. 

         Engkau   membopong   cucu-cucumu   di   punggungmu,   engkau   bermain   berkejaran 
dengan  mereka  Engkau  bahkan  menengok  seorang  anak  yang  burung  peliharaannya  mati. 
Dan engkau pula yang berkata ketika seorang ibu merenggut bayinya                  ari gendonganmu, 
 
“Bekas najis ini bisa kuseka, tetapi apakah kau bisa menggantikan saraf  halus  yang  putus di kepalanya?” 

Aku memandang suamiku yang terpaku. 
Aku memandang anakku yang tegak diam bagai karang tajam. 
Kupandangi keduanya, berlinangan air mata. 
Aku tak boleh berputus asa dari Rahmat-Mu, ya Allah, bukankah begitu? 
 
Lalu kuambil tangan suamiku, meski kaku, kubimbing ia mendekat kepada Ahmad. Kubawa  tangannya menyisir kepala anaknya, yang berpuluh tahun tak merasakan sentuhan tangan 
seorang ayah yang didamba. 
Dada Ahmad berguncang menerima belaian. Kukatakan di hadapan mereka berdua, 
 
“Lakukanlah  ini,  permintaan  seorang  yang  akan  dijemput  ajal  yang  tak  mampu 
mewariskan apa-apa: kecuali Cinta. 

 
Lakukanlah, demi setiap anak lelaki yang akan lahir dan menurunkan keturunan demi  keturunan. 
 
Lakukanlah, untuk sebuah perubahan besar di rumah tangga kita! Juga di permukaan 
dunia. Tak akan pernah  ada perdamaian selama  anak laki-laki tak diajarkan rasa kasih dan 
sayang,  ucapan  kemesraan,  sentuhan  dan  belaian,  bukan  hanya  pelajaran  untuk  menjadi 
jantan seperti yang kalian pahami. Kegagahan tanpa perasaan. 

Dua laki-laki dewasa mengambang air di mata mereka. 
Dua laki-laki dewasa dan seorang wanita tua terpaku di tempatnya. 

 
Memang tak mudah untuk berubah. Tapi harus dimulai. Aku serahkan bayi Ahmad ke 
pelukan suamiku. Aku bilang: 

“Tak ada kata terlambat untuk mulai, Sayang.” 

 Dua  laki-laki  dewasa  itu  kini  belajar  kembali.  Menggendong  bersama,  bergantian  menggantikan  popoknya,  pura-pura  merancang  hari  depan  si  bayi  sambil  tertawa-tawa  berdua,  membuka  kisah-kisah  lama  mereka  yang  penuh  kabut  rahasia,  dan  menemukan  betapa  sesungguhnya  di  antara  keduanya  Allah  menitipkan  perasaan  saling  membutuhkan yang  tak  pernah  terungkapkan  dengan  kata,  atau  sentuhan.  Kini  tawa  mereka  memenuhi  rongga dadaku yang sesak oleh bahagia, syukur pada-Mu 

Ya Allah! Engkaulah penolong satu-satunya ketika semua jalan tampak buntu. 

Engkaulah cahaya di ujung keputusasaanku. 

Tiga laki-laki dalam hidupku aku titipkan mereka di tangan-Mu. 

Kelak, jika aku boleh bertemu dengannya, Nabiku, aku ingin sekali berkata: 

Ya, Nabi. aku telah mencoba sepenuh daya tenaga untuk mengajak mereka semua menirumu! 


Amin, Alhamdulillah 

MAKNA RAMADHAN......


Ramadhan bulan penuh berkah… Ramadhan bulan perbaikan… Menuai Berkah di Bulan Ramadhan…

Text line seperti di atas atau yang lainnya yang lebih bernuansa semangat akan bulan Ramadhan sering kita temui di berbagai tempat dan media yang dapat dengan mudah dilihat oleh orang lain. Tentu selain memberi semangat ummat Islam dalm berpuasa di buln Ramadhan dengan berbagai hiasan kata seperti di atas selalu ada hiasan di lain tempat yang masih dengan tempat tersebut adalah promosi atau sekedar logo institusi yang mengeluarkan. Ramadhan digunakan sebagai media pengenalan produk atau brand sebuah institusi agar  lebih dapat berbaur dengan masyarakat. Walau kadang ada yang beranggapan cara seperti ini belum tepat sasaran dalam mengenalankan produk mereka, namun memang cara seperti ini masih dianggap cara yang lumayan ampuh.

Terlepas dari gegap gempita ikhwal di atas tadi, Ramadhan memang bulan yang unik dan penuh penempaan bagi ummat Islam. Jarang sekali kita di bulan-bulan selain Ramadhan diperintahkan untuk melakukan penempaan diri melalui puasa. Waktu puasa pun kita selayaknya menjaga lubang-lubang di dalam diri kita. Bukan hanya lubang mulut agar tidak makan atau minum, namun juga lubang mata agar menjaga pandangannya, lubang telinga agar lebih mendengarkan yang lebih bermanfaat, atau lubang-lubang yang lainnya selain agar menjaga benda-benda fisik masuk dalam diri kita pun juga yang lainnya yang bersifat non-fisik.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam nasa’I dari abu Umamah: “ Wahai Raosululloh, perintahkanlah kepadaku satu amalan yang Alloh akan memberikan menfa’atnya kepadaku dengan amalan itu” Maka Rosululloh bersabda: “ Berpuasalah, sebab tidak ada satu amalan pun yang setara dengan puasa”
Sedangkan di dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah:183 Alloh Berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” . Dalam ayat ini setidaknya terdapat 4 aspek penting kita dalam sukses di kehidupan ini. 

Yakni yang pertama adalah Yakin, ini ditunjkukkan pada “Hai orang-orang yang beriman…”. Hanya orang yang beriman sajalah yang dimaksud di ayat ini, dapat juga maksudkan orang yang yakin akan usaha yang akan ia lakukan.

Yang kedua adalah “diwajibkan atas kamu berpuasa…”, kewajiban puasa dapat dimaksudkan sebagai tirakat bagi kita dalam rangka meraih kesuksesan hidup. Karena hampir setiap orang menempuh kesuksesan dengan melalui berbagai rintangan dengan tirakat atau serba dalam keterbatasan.

Yang ketiga adalah “..sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu..”, kita diajak untuk menengok masa sebelum kita. Ini dapat dimaksudkan sebagai rancangan kehidupan untuk memperoleh kesuksesan hidup kelak. Karena dengan melihat ke belakang kita dapat mengevaluasi atau memuhasabahi diri kita agar kelak menjadi lebih baik.

Yang terakhir adalah “..agar kamu bertakwa”, maksud darinya adalah proses penempaan diri dari dengan keyakinan, tirakat, serta rancangan tadi menjadikan kita insan yang lebiah baik yakni takwa disini dapat dimaksudkan sebagi kesuksesn hidup karena bila kita telah bertakwa dengan sebenarnya yakni yang menjalankan perintah-Nya serta menjahui segala larangan-Nya dengan konsisten maka hidup kita pun jadi tentram dengan kenikmatan hidup serta rahmat Allah akan mengalir dengan derasnya.

Dari Surat Al-Baqarah:183 kita dapat melangkah menemukan hal yang lainnya, yakni kewajiban puasa yang dimaksudkan di ayat ini tidak menyebut siapa yang mewajibkannya. Memang secara tersirat sedemikian jels adalah Allah. Namun boleh jadi juga seandainya bukan Allah yang mewajibkan puasa, maka manusia yang menyadari manfa’at puasa dan mewajibkan atas dirinya sendiri. Telah terbukti semngat untuk puasa dilakukan manusia bukan karena dorongan untuk menjalankan ajaran agama. Misalnya demi kesehatan, sterilisasi tubuh sebelum operasi, untuk kecantikan dan masih banyak yang lainnya.
Momen Ramadhan sebagai momen yang tepat untuk menempa diri selain dari segi perut yang diistirahtkan, juga penguatan ruhiyah untuk memantapkan keimanan kita

Doa di Ramadhan kita

Perintah Berpuasa dalam al-Qur’an termaktub dalam surat al-Baqoroh ayat 183 – 187. Sedang bab tentang do’a ada dalam ayat 186. Hal ini menandakan bahwa ada hal istimewa di dalamnya. Karena do’a adalah senjata bagi orang-orang yang beriman. Senjata untuk menghadapi kehidupan ini entah bagaimana pun keadaannya. Bab do’a ini disisipkan Alloh dalam antara pembahasan tentang puasa dari ayat 183-187.
Dalam bulan Ramadhan ada 2 waktu yang mustajabah dalam berdo’a.

Yang pertama adalah pada waktu sahur, karena Alloh turun ke langit dunia guna mendengaran permintaan hambaNya dan mengabulkannya barang siapa yang berdo’a pada waktu tersebut. 

Sedang waktu yang kedua adalah waktu yang dinantikan banyak orang yang menonton televisi yakni pada adzan maghrib, karena menunggu waktunya untuk berbuka puasa. Dalam waktu ini juga mustajabah untuk berdo’a, hingga RosuluLLAH SAW memberikan sunnah do’a seperti yang telah kita ketahui bersama yakni: “Allohumma Laka tsumtu Wabika aamantu wa ‘ala rizqika afthortu bi Rohmatika yaa arhamarroohimiiin…”, namun setelah itu sebaiknya kita tak langsung menyantap makanan dengan lahapnya, namun alangkah baiknya kita berdo’a dahulu dengan mengadu segalanya tantangan hidup kita pada Alloh.

WaLLOhu a’lam…                                                                                            Semoga Bermanfaat

KENAPA YA ????


Kenapa ya,
uang Rp 20,000an kelihatan begitu besar bila dibawa ke kotak amal mesjid,

tapi begitu kecil bila kita bawa ke supermarket...


Kenapa ya,

45 menit terasa terlalu lama untuk berdzikir,

tapi betapa pendeknya waktu itu untuk pertandingan liga Italy.


Kenapa ya,

betapa lamanya 2 jam berada di Masjid,

tapi betapa cepatnya 2 jam berlalu saat menikmati pemutaran film di bioskop...


Kenapa ya,

susah merangkai kata untuk dipanjatkan saat berdoa atau sholat,

tapi betapa mudahnya cari bahan obrolan bila ketemu teman...


Kenapa ya,

betapa serunya perpanjangan waktu dipertandingan bola favorit kita,

tapi betapa bosannya bila imam sholat Tarawih bulan Ramadhan kelamaan bacaannya...


Kenapa ya,

susah banget baca Al-Quran 1 juz saja,

tapi novel best-seller 100 halamanpun habis dilalap...


Kenapa ya,

orang-orang pada berebut paling depan untuk nonton bola atau konser

tapi berebut cari shaf paling belakang bila Jumatan agar bisa cepat keluar...


Kenapa ya,

kita perlu undangan pengajian 3-4 minggu sebelumnya agar bisa disiapkan di agenda kita,

tapi untuk acara lain jadwal kita gampang diubah seketika...


Kenapa ya,

susahnya orang mengajak partisipasi untuk dakwah,

tapi mudahnya orang berpartisipasi menyebar gossip...


Kenapa ya,

kita begitu percaya pada yang dikatakan koran,

tapi kita sering mempertanyakan apa yang dikatakan Al Quran...


Kenapa ya,

semua orang pinginnya masuk surga

tanpa harus beriman, berpikir, berbicara ataupun melakukan apa-apa...


Kenapa ya,

kita bisa ngirim ribuan jokes lewat email,

tapi bila ngirim yang berkaitan dengan ibadah sering mesti berpikir dua-kali...


"Dan sampaikanlah berita gembira

kepada orang-orang mu'min bahwa

sesungguhnya bagi mereka karunia

yang besar dari Allah." (QS. 33:47)